spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

“Pelayan” yang Butuh Diservis

Oleh: Un Weo (Waga NTT)

SOE, TTS – Sepertinya kita salah memahami arti kata wakil rakyat. Kita kira mereka adalah pelayan yang bertugas untuk melayani rakyat jelata. Padahal, merekalah yang justru butuh dilayani. Mereka menempatkan diri sebagai “pelayan” yang butuh diservis.

Mereka mewakili diri mereka sendiri, dan tugas kita sebagai rakyat adalah mewakilkan segala keperluan mereka. Kita mewakilkan hak kita untuk memiliki jalan mulus, air bersih, listrik, pendidikan, sekolah layak, dan layanan kesehatan yang baik. Sebagai gantinya, mereka “melayani” diri mereka sendiri dengan gaji, tunjangan, fasilitas supermewah, hingga proyek-proyek yang sering kali hanya menguntungkan kroni.

Ironisnya, saat mereka meminta kenaikan gaji atau tunjangan, mereka mengklaim itu demi “meningkatkan kinerja.” Padahal, kita semua tahu, kinerja yang sebenarnya adalah kemampuan mereka meningkatkan pundi-pundi pribadi, bukan kesejahteraan rakyat. Coba kita cek, berapa banyak anggota DPR yang benar-benar punya kapasitas membuat undang-undang? Jika ada tes kapabilitas untuk membahas UU, kira-kira berapa persen yang memenuhi syarat?

Jangan heran jika kita melihat mereka hidup seperti raja. Itu bukan karena mereka mewakili rakyat, melainkan karena mereka sudah menganggap diri mereka sebagai raja yang harus dilayani. Mereka tidak perlu belajar soal efisiensi, karena efisiensi terbesar yang mereka kuasai adalah mengefisienkan sumber daya negara ke kantong mereka sendiri.

Kalau politik adalah pelayanan, kenapa yang dipamerkan para politisi justru gaya hidup mewah? Apakah hedonisme yang mereka tunjukkan bentuk pelayanan atau pengorbanan? Mereka seolah rela berkorban demi mencerminkan betapa makmurnya negara ini, ironisnya kemakmuran itu hanya terasa di lingkaran elite. Jadi, jangan salah sangka. Mobil mewah, tas mahal, dan jam tangan berkilau itu bukan sekadar gaya hidup, tetapi flexing alias pamer keserakahan.

Coba bandingkan gaji, tunjangan, dan fasilitas yang mereka dapatkan dengan kinerja mereka serta kondisi rakyat jelata. Apakah pantas dan layak? Mereka pulang-pergi naik mobil dinas mewah, tinggal di rumah dinas besar, setiap kunjungan kerja mendapat uang saku jutaan rupiah per hari. Untuk urusan kesehatan, mereka bisa berobat di rumah sakit elit dengan fasilitas kelas satu. Pajak pun ditanggung negara, ditambah tunjangan pensiun. Anak-anak mereka bisa sekolah di tempat terbaik, liburan ke luar negeri, dan belanja barang-barang bermerek dengan harga setara rumah sederhana di kampung. Mereka memang “pelayan yang butuh diservis”—seluruh kebutuhannya dipenuhi negara dari uang rakyat.

Sementara itu, lihatlah kehidupan rakyat biasa. Banyak yang masih berjuang keras sekadar untuk makan tiga kali sehari. Petani banting tulang di sawah, tetapi harga pupuk makin mahal dan hasil panen tidak seberapa. Guru honorer dibayar Rp300 ribu setiap tiga bulan tanpa tunjangan dan fasilitas. Buruh pabrik bekerja dari pagi hingga malam, bahkan lembur, tapi gajinya pas-pasan, hanya cukup untuk kontrakan dan kebutuhan pokok. Ketika sakit, mereka kebingungan mencari biaya berobat karena rumah sakit mahal dan BPJS sering tidak menanggung penuh.

Ada jurang yang sangat dalam. Di atas, para elite hidup dalam gelembung kemewahan, jauh dari realitas rakyat yang mereka wakili. Mereka berbicara soal “kesejahteraan rakyat” di gedung megah, tapi di luar sana, banyak rakyat jangankan sejahtera, untuk sekadar bertahan hidup pun sudah sulit.

Perbedaan inilah yang membuat rakyat sering merasa wakil mereka sudah lupa dari mana mereka berasal, dan siapa yang seharusnya mereka perjuangkan. (*)

Most Popular