SOE, TTS – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) mendapat sorotan tajam dari masyarakat. Kritik datang melalui akun Barisan Kiri di media sosial Facebook, yang menilai DP3A masih terjebak dalam pola kerja seremonial dan administratif, sementara fungsi utamanya sebagai pelindung perempuan dan anak korban kekerasan belum maksimal.
Dalam unggahan itu, disebutkan bahwa masih ada korban yang tidak mendapat pendampingan komprehensif, sehingga fungsi perlindungan seolah hanya berhenti di atas laporan. Kritik juga diarahkan pada SIPETIK (Sistem Pelaporan Tindak Kekerasan). Menurut akun tersebut, DP3A kerap menyebut SIPETIK sebagai aplikasi, padahal faktanya hanya berbasis website. Hal ini dinilai sebagai penyampaian informasi yang menyesatkan.
Barisan Kiri pun mendesak DP3A untuk menghentikan pola kerja seremonial, memperkuat pendampingan aktif, menyampaikan edukasi publik yang jujur, serta mengutamakan keberpihakan kepada rakyat, bukan sekadar laporan administratif.
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas P3A Kabupaten TTS, Ardi Benu, menyatakan pihaknya menghargai setiap masukan sebagai wujud kepedulian masyarakat. “Setiap masukan adalah cermin bagi kami untuk terus memperbaiki diri,” ungkapnya.
Ardi kemudian meluruskan beberapa hal. Pertama, kegiatan yang tampak formal sejatinya ditujukan untuk memperkuat jejaring dan memastikan data sesuai kondisi lapangan. Namun ia menegaskan pelayanan langsung kepada korban tetap menjadi prioritas, bahkan kini diperkuat melalui kerja sama dengan LSM, kepolisian, lembaga agama, serta pemerintah desa dan kelurahan.
Kedua, terkait pendampingan korban kekerasan, Ardi menjelaskan bahwa DP3A memiliki mekanisme mulai dari penerimaan laporan, asesmen, hingga rujukan medis, psikologis, maupun hukum. Keterbatasan tenaga memang masih menjadi tantangan, tetapi perbaikan terus dilakukan. “Setiap korban yang setuju, sementara waktu kami lindungi di tempat aman dengan pendampingan penuh sampai kebutuhannya terpenuhi,” jelasnya.
Ketiga, Ardi meluruskan bahwa SIPETIK memang berbasis website, bukan aplikasi unduhan. Model ini dipilih karena lebih fleksibel, bisa diakses melalui berbagai perangkat, dan lebih aman dari sisi kerahasiaan pelapor. “Tanpa aplikasi terinstal, tidak ada jejak penggunaan di gawai pelapor, sehingga privasi lebih terjaga,” tegasnya.
Ardi menambahkan, SIPETIK hanyalah sarana pendukung. Penanganan kasus tetap membutuhkan kerja bersama antara masyarakat, aparat desa, tokoh agama, serta pihak berwenang. (Sys/ST)
Editor: Agus S

