Oleh: Amon Bernabas Tenis
Mahasiswa Magister Linguistik Universitas Gadjah Mada
Pengangkatan seorang raja dalam tatanan adat bukan sekadar seremoni, melainkan peneguhan atas sejarah kolektif, garis keturunan, serta konsensus komunitas yang menjaga memori bersama.
Namun, penobatan yang baru-baru ini digelar dengan dukungan resmi pemerintah daerah justru memunculkan reaksi keras dari sebagian masyarakat adat. Respons ini mengungkap retakan mendasar pada legitimasi lembaga raja yang selama ini dianggap kokoh.
Penolakan tersebut bukan semata perseteruan personal atau konflik internal keluarga, melainkan memperlihatkan kelemahan prosedural yang serius. Perwakilan rumpun keluarga yang secara historis memiliki kaitan langsung dengan garis kekuasaan menegaskan bahwa proses pengangkatan bertentangan dengan hukum adat dan catatan sejarah setempat. Bahkan, ada yang menilai kehadiran pihak pemerintah dalam acara tersebut dipolitisasi atau dimaknai keliru, sehingga bukannya menutup luka lama, penobatan ini justru membuka perpecahan baru dalam ingatan kolektif masyarakat.
Untuk memahami persoalan ini, perlu menengok akar historisnya. Amanuban bukan hanya entitas administratif modern, melainkan kerajaan tradisional dengan silsilah panjang dan norma adat yang diwariskan lintas generasi. Sejarah raja-raja terdahulu, berikut peran keluarga yang menempati posisi penting pada masa-masa krusial, adalah fondasi legitimasi yang tidak dapat digantikan hanya oleh pengesahan administratif.
Narasi bahwa penobatan kali ini menutup kekosongan puluhan tahun semestinya dibangun melalui musyawarah adat yang terbuka, dokumenter, dan transparan. Tanpa itu, klaim penyelesaian hanya akan mengikis nilai otoritas adat itu sendiri.
Peristiwa ini menyingkap persoalan yang lebih luas: ketika aktor pemerintahan memasuki ranah sakral adat tanpa mekanisme legitimasi yang sah, hasilnya bukan sinergi melainkan subordinasi. Peran pemerintah seharusnya bersifat fasilitatif—menjamin keamanan, menyediakan ruang dialog, serta mengakui hasil musyawarah adat—bukan menjadi penentu tunggal siapa yang berhak menyandang gelar raja yang sarat makna kultural. Intervensi pragmatis yang tampak sebagai solusi cepat justru berisiko mereduksi raja menjadi simbol administratif jangka pendek, sekaligus melemahkan kepercayaan masyarakat adat.
Kritik yang muncul tidak dimaksudkan sebagai penolakan terhadap pembaruan, melainkan tuntutan agar pembaruan ditempuh melalui jalur yang diakui komunitas. Rekonsiliasi yang autentik hanya dapat lahir dari ruang dialog yang dipimpin tokoh adat netral, pemulihan bukti genealogis serta simbolik seperti destar, so’ït, dan artefak ritual lainnya, serta mekanisme mediasi yang melibatkan seluruh rumpun suku. Tanpa langkah-langkah ini, setiap klaim penyelesaian hanya akan menjadi narasi rapuh yang mudah diperdebatkan di ruang publik, bahkan berpotensi memperpanjang konflik. (*)

