SOE, TTS — Kasus dugaan perampasan mobil milik Katarina Una oleh dua oknum debt collector dari Suzuki Finance mulai menemukan titik terang. Penyidik Polres Timor Tengah Selatan (TTS) memastikan segera menaikkan status penanganan perkara dari penyelidikan ke penyidikan, setelah agenda gelar perkara yang sempat tertunda dijadwalkan ulang dalam waktu dekat.
Kuasa hukum korban, Arman Tanono, SH, menyampaikan hal itu usai melakukan koordinasi dengan penyidik Polres TTS pada Senin (13/10/2025).
“Penyidik menyampaikan bahwa sebenarnya gelar perkara sudah dijadwalkan kemarin pagi, namun Kasat Reskrim masih ada kegiatan lain yang tidak bisa diwakilkan. Jadi gelar perkara akan segera dijadwalkan kembali,” ujar Arman kepada wartawan di SoE, Selasa (14/10/2025).
Ia menjelaskan, penyidik juga memastikan bahwa proses penyitaan mobil sebagai barang bukti telah direncanakan sebagai bagian dari tahapan penyidikan.
“Saya minta agar mobil itu segera disita untuk kepentingan penyidikan, dan penyidik menyampaikan bahwa langkah itu memang sudah direncanakan,” ungkapnya.
Arman menilai perkembangan ini menunjukkan keseriusan penyidik Polres TTS dalam menangani perkara dugaan perampasan mobil tersebut.
“Kalau sudah akan naik ke tahap penyidikan, berarti arah hukumnya sudah jelas. Artinya akan ada pemeriksaan tambahan terhadap saksi korban dan calon tersangka,” katanya.
Ia juga menyampaikan apresiasi terhadap kinerja penyidik yang dinilainya transparan, terbuka, dan profesional.
“Saya berterima kasih kepada penyidik yang bekerja serius dan terbuka. Kami sebagai kuasa hukum tetap berkomitmen mengawal kasus ini sampai hak-hak klien kami terpenuhi dan mendapat keadilan. Semua langkah hukum sudah kami siapkan,” tegas Arman.
Kasus ini berawal pada 23 Juli 2025, ketika dua pria yang mengaku sebagai debt collector dari Suzuki Finance diduga merampas mobil milik Katarina Una di depan SMP Sinar Pancasila, Kota SoE. Saat itu, mobil dikendarai oleh anak Katarina menuju kota, namun dihentikan oleh dua pelaku yang kemudian mengambil paksa kendaraan bersama penumpang yang masih di dalam mobil.
“Yang lebih parah, mereka tidak menunjukkan satu pun surat tugas atau dokumen resmi dari perusahaan leasing,” ujar Arman dalam pernyataannya sebelumnya.
Ia menegaskan, tindakan tersebut melanggar Undang-Undang Fidusia yang mengatur bahwa setiap penarikan kendaraan kredit harus berdasarkan putusan pengadilan.
“Tanpa putusan pengadilan, penyitaan kendaraan tidak bisa dilakukan. Ini bentuk paksaan yang bertentangan dengan hukum,” tegasnya.
Selain menempuh jalur pidana, tim kuasa hukum juga berencana mengajukan gugatan perdata terhadap pihak leasing dan menyampaikan pengaduan resmi ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menurut Arman, alasan penarikan yang dilakukan pihak leasing tidak berdasar karena kliennya hanya menunggak dua bulan angsuran, yakni April dan Mei 2025, sementara pembayaran bulan Juni sudah dilakukan.
“Dalam aturan OJK, kredit macet baru dikategorikan setelah enam bulan. Jadi kami pertanyakan dasar apa yang digunakan pihak leasing hingga melakukan penarikan di bulan Juli,” ujarnya.
Ia juga mengungkap adanya dugaan pemaksaan terhadap anak korban yang diminta menandatangani dokumen setelah mobil dibawa ke diler.
“Bahkan, pihak diler meminta keluarga korban membayar Rp120 juta, padahal sisa angsuran hanya sekitar Rp40 juta. Ini jelas tidak masuk akal,” pungkasnya. (Sys/ST)