SOE, TTS — Komunitas Rimbun Pah Feto (RIMPAF) Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) menilai data resmi yang dirilis Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) justru memperlihatkan lemahnya kinerja pemerintah daerah dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Alih-alih menunjukkan capaian, data tersebut dinilai menjadi cermin gagalnya sistem perlindungan dan pemulihan korban di TTS selama lima tahun terakhir.
Berdasarkan data dari UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di bawah DP3A TTS, tercatat lebih dari 395 kasus kekerasan sejak 2021 hingga 2024, dengan pola yang nyaris sama setiap tahun. Jenis kekerasan yang paling sering terjadi bukan hanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tetapi juga persetubuhan anak, penelantaran, dan ingkar janji menikah — bentuk kekerasan relasional yang memperlihatkan rapuhnya perlindungan hukum bagi perempuan di TTS.
Tahun 2025 pun menunjukkan tren serupa. Hingga Oktober 2025, terdapat 55 kasus baru, namun hanya 10 kasus yang dinyatakan tuntas. Artinya, hampir 80 persen korban belum mendapatkan keadilan. Dari jumlah itu, 17 anak menjadi korban kekerasan seksual, menunjukkan bahwa pelecehan dan eksploitasi anak masih menjadi masalah serius di wilayah ini.
Ketua RIMPAF TTS, Honing Alvianto Bana, menilai data yang stagnan ini membuktikan dua kegagalan mendasar. “Pertama, DP3A gagal menjalankan fungsi perlindungan dan pemulihan korban. Kedua, pemerintah daerah berhenti di tahap pelaporan tanpa aksi nyata,” ujarnya.
Ia mencontohkan, pada 2021 tercatat 91 kasus, dan meningkat menjadi 107 kasus pada 2024. “Kalau kasus terus naik, itu bukan bukti pencatatan yang baik, tapi tanda bahwa pencegahan tidak berjalan. Pemerintah lebih sibuk menulis angka daripada menolong korban,” tegasnya.
RIMPAF juga menyoroti bahwa kasus yang disebut ‘tuntas’ sering kali hanya selesai secara administratif, bukan secara keadilan substantif. Banyak korban berakhir dalam mediasi adat atau damai sepihak, yang justru memperpanjang rantai kekerasan.
Kritik tajam juga diarahkan pada lemahnya dukungan sumber daya manusia dan pengelolaan anggaran di DP3A TTS. Hingga kini, UPTD PPA tidak memiliki tenaga psikolog tetap, sehingga banyak korban yang datang dalam kondisi trauma berat tidak mendapat layanan pemulihan mental yang layak.
“Bagaimana mungkin pemerintah bicara perlindungan jika satu-satunya tempat rujukan korban bahkan tidak punya psikolog?” kata Honing.
Dari total Rp500 juta dana penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak tahun 2025, baru sekitar 50 persen yang terserap hingga Oktober. “Masalahnya bukan pada anggaran yang kurang, tapi pada rendahnya kapasitas dan keseriusan lembaga dalam menggunakan sumber daya untuk melindungi korban,” tambahnya.
Menurut RIMPAF, situasi ini bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan kegagalan struktural dan moral. DP3A dinilai hanya menjadi lembaga formalitas tanpa kekuatan politik dan sosial yang cukup untuk melawan budaya kekerasan di akar rumput.
“Data yang mereka publikasikan justru bukti telanjang bahwa pemerintah tidak hadir bagi korban,” tegas Honing. Ia juga mengkritik komentar pejabat daerah yang mengaitkan kekerasan dengan fasilitas publik seperti CCTV dan lampu jalan. “Kekerasan di TTS bukan karena gelapnya malam, tapi karena tidak adanya keberanian pejabat untuk berpihak pada korban,” ujarnya.
RIMPAF mendesak Bupati TTS segera melakukan audit menyeluruh terhadap kinerja DP3A dan UPTD PPA, termasuk membuka data lengkap kepada publik. Audit tersebut harus memastikan bahwa setiap laporan korban ditindaklanjuti dengan proses hukum, pendampingan psikologis, pemulihan sosial, serta pencegahan berkelanjutan.
“Tanpa langkah serius, data kekerasan hanya akan terus bertambah — dan setiap angka baru adalah bukti kegagalan pemerintah melindungi perempuan dan anak di TTS,” tutup Honing. (Sys/ST)

