KUPANG – Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur, Zet Tadung Allo, menegaskan pentingnya pendekatan follow the money dan follow the asset melalui skema Deferred Prosecution Agreement (DPA) dalam penanganan tindak pidana korupsi. Menurutnya, instrumen ini bisa menjadi kunci penyelamatan kerugian keuangan negara yang selama ini belum optimal.
“Catatan Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukkan setiap tahun pengembalian kerugian negara dari tindak pidana korupsi baru sekitar tujuh persen. Padahal, kebocoran APBN dan APBD diperkirakan mencapai 30–40 persen setiap tahun,” ujarnya dalam seminar ilmiah bertema Optimalisasi Pendekatan Follow The Money dan Follow The Asset melalui Deferred Prosecution Agreement (DPA) dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana, di Kupang, Senin (25/8).
Seminar tersebut digelar dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ke-80 Kejaksaan RI dengan menghadirkan akademisi serta perwakilan aparat penegak hukum.
Zet menekankan bahwa hasil berbagai penelitian internasional menunjukkan, 77 persen negara maju bisa bertahan bukan karena melimpahnya sumber daya alam, melainkan karena memiliki sistem hukum yang kuat dan efektif. Ia menilai prinsip follow the money dan follow the asset sangat relevan diterapkan di Indonesia, sebab penegakan hukum tidak cukup berhenti pada penghukuman pelaku, melainkan harus memastikan aset negara yang dirampas bisa kembali.
Ia juga mengingatkan aparat penegak hukum, baik di NTT maupun di daerah lain, agar berani berinovasi dalam setiap proses penyidikan. Sebab, pola kejahatan saat ini semakin beragam, dengan pelaku yang berasal dari berbagai kelompok dan latar belakang.
“Penyelidikan hingga persidangan, bahkan sampai eksekusi, menuntut keseriusan,” tegasnya.
Menurut Zet, pendekatan berbasis DPA yang menekankan pemulihan aset negara perlu terus diperkuat agar kerugian negara bisa ditekan, sekaligus meningkatkan efektivitas pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. (ant/ST)
Editor: Agus S

