KUPANG – Pengurus Sekolah Tinggi Agama Kristen (STAK) Kupang resmi melaporkan akun Facebook milik Hendrikus Djawa ke Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) atas dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran informasi bohong di media sosial.
Langkah hukum ini diambil setelah Hendrikus, yang juga dikenal sebagai Ketua Lembaga Pemantau Penyelenggaraan Trisula Rakyat Indonesia (LP2TRI), menayangkan video siaran langsung di akun pribadinya berisi tudingan adanya pemerasan, praktik KKN, pencucian uang, hingga keterlibatan aparat kepolisian dalam aktivitas kampus STAK Kupang.
Unggahan tersebut memicu berbagai komentar negatif dan menimbulkan persepsi buruk terhadap reputasi lembaga pendidikan tersebut.
Kuasa hukum STAK Kupang, Arman Tanono, menegaskan bahwa seluruh tuduhan yang dilontarkan Hendrikus Djawa dan seorang alumni bernama Yahya Molana adalah fitnah dan tidak berdasar.
“Semua tuduhan yang dilontarkan oleh saudara Yahya Molana maupun Ketua LP2TRI, Hendrikus Djawa, itu tidak benar. Itu narasi sesat dan opini liar yang disebarkan di media sosial, sehingga menimbulkan kesan negatif terhadap kampus dan para pengurus,” ujar Arman dalam konferensi pers, Selasa (21/10/2025).
Ia menjelaskan, laporan terhadap akun kedua individu tersebut telah diajukan ke Polda NTT pada Senin (21/10/2025) dan diterima oleh penyidik untuk diproses sesuai ketentuan hukum.
Menurut Arman, penyebaran tuduhan tanpa dasar di media sosial melanggar KUHP tentang pencemaran nama baik dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Kami akan mengawal kasus ini sampai ke pengadilan. Ini harus jadi pelajaran agar publik lebih bijak dalam bermedia sosial. Tuduhan harus dibuktikan secara hukum, bukan berdasar cerita fiktif yang merusak nama baik orang lain,” tegasnya.
Selain itu, ia menyoroti tindakan penyebutan nama individu dalam rekaman suara dan siaran langsung tanpa izin, yang dinilainya sebagai pelanggaran privasi sekaligus etika publik.
Pihak STAK Kupang berharap, langkah hukum ini menjadi efek jera dan pembelajaran publik agar tidak mudah menyebarkan isu tanpa verifikasi.
“Media sosial bukan tempat untuk menebar fitnah. Kami percaya kepolisian akan memproses perkara ini secara profesional dan transparan,” tutup Arman. (Sys/ST)

