Oleh: Darius Beda Daton, warga NTT
SOE, TTS – Beberapa hari belakangan ini, publik NTT ramai memperbincangkan tunjangan rumah dan transportasi DPRD NTT serta DPRD kabupaten/kota.
Perbincangan tersebut bernada protes dan kritik keras karena besaran tunjangan dianggap tidak mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dan kondisi sosial ekonomi masyarakat NTT saat ini.
Saya pun ikut berpendapat demikian. Bahwa soal gaji dan tunjangan DPRD sudah baku diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ada Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Dalam Negeri, dan Peraturan Menteri Keuangan tentang Standar Biaya Umum (SBU) masing-masing daerah yang harus dipedomani ketika daerah membuat peraturan gubernur atau peraturan bupati tentang tunjangan DPRD.
Bahkan mengenai kewajaran harga sewa rumah dan kendaraan untuk menetapkan angka tunjangan, pemerintah daerah menunjuk penilai untuk melakukan survei kewajaran harga. Masalahnya adalah jika Pemda dan DPRD tidak mau memedomani itu serta tidak melalui fungsi reviu inspektorat sebelum peraturan gubernur atau peraturan bupati tentang tunjangan DPRD ditetapkan, sehingga angka tunjangannya melampaui batas ketentuan.
Sebagai contoh, untuk tunjangan DPRD provinsi yang kini diributkan, angka hasil tim penilai Pemprov jauh di bawah angka yang ditetapkan dalam Peraturan Gubernur NTT Nomor 22 Tahun 2025 yang menjadi dasar pembayaran tunjangan DPRD saat ini.
Hasil survei penilai untuk sewa rumah di Kota Kupang paling tinggi Rp4,5 juta per bulan dan biaya transportasi paling tinggi Rp18 juta per bulan. Bandingkan dengan angka dalam Pergub saat ini: tunjangan rumah Rp23,6 juta dan transportasi Rp28–31 juta. Mungkin saja angka ini sesuai dengan kemampuan keuangan daerah, tetapi hemat kami belum sepenuhnya mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat NTT saat ini, di mana jumlah warga miskin masih mencapai 1,1 juta orang.
Jika diaudit BPK, hal ini bisa terdeteksi dan berpotensi menjadi temuan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Jika kelebihan pembayaran tidak dikembalikan dalam kurun waktu tertentu, bisa menjadi tindak pidana korupsi berjemaah.
Pengalaman DPRD Kota Kupang periode lalu menunjukkan hal itu, sehingga terpaksa seluruh kelebihan pembayaran tunjangan dikembalikan. Namun jika inspektorat dan auditor BPK bisa diajak “kompromi”, maka hal itu tidak menjadi temuan atau ditutup diam-diam. Meski begitu, hal ini sulit dilakukan karena publik sudah mengetahui besaran tunjangan serta regulasi yang menjadi dasar perhitungannya.
Rumus dan pola perhitungan tunjangan sudah diatur dalam regulasi sehingga tidak bisa diatur sesuai selera dan kemauan kita semata. Dalam hal ini, kita masih menghadapi soal besar terkait kepatuhan pejabat negara terhadap peraturan perundang-undangan. Apalagi bila berbicara soal kepatutan, kewajaran, dan kepantasan yang mendasari pengambilan keputusan sebagaimana Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Itu masih jauh.
Karena itu, saya menyarankan agar Pemerintah Provinsi bersama DPRD NTT serta para bupati dan DPRD kabupaten/kota mendiskusikan kembali besaran tunjangan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dan kondisi sosial ekonomi masyarakat NTT saat ini. Revisi Peraturan Gubernur NTT Nomor 22 Tahun 2025 dan peraturan bupati di masing-masing kabupaten perlu segera dilakukan sebagai respons terhadap tuntutan publik.
Hal ini pernah dilakukan pula oleh DPR RI dengan menurunkan tunjangan mereka. Kita di daerah tinggal meniru cara itu. Mari kita terus berupaya agar semua institusi negara dipercaya publik. Kepercayaan publik menjadi modal utama dalam membangun daerah.
Ketiadaan dukungan publik akan bermuara pada apatisme dan rasa tidak memiliki daerah. Kurangnya kepercayaan publik juga akan berdampak pada kepatuhan warga membayar pajak, retribusi, dan kebijakan pemerintah daerah lainnya. Ayo, kita bisa. (*)