spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

TTS Memanggil: Harapan untuk Generasi yang Tertinggal

SOE, TTS – Di balik keindahan alam dan kekayaan budaya Nusa Tenggara Timur, terutama Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), tersembunyi sebuah krisis kemanusiaan yang nyaris tak terdengar, yakni puluhan ribu anak tidak mendapatkan hak dasarnya untuk bersekolah.

Data dari Balai Penjamin Mutu Pendidikan (BPMP) NTT mencatat angka mengejutkan: 145.268 anak usia sekolah di seluruh NTT tidak bersekolah. Dari jumlah ini, lebih dari 22 ribu anak berasal dari TTS. Berdasarkan angka verval ATS Kabupaten TTS per tanggal 23 Juli 2025, terdata jumlah anak drop out SD sebanyak 746 orang, SMP sebanyak 836 orang, lulus SD tidak lanjut ke SMP sebanyak 1.374 orang, dan lulus SMP tidak lanjut ke SMA sebanyak 2.873 orang.

Ini bukan hanya catatan statistik, tetapi cerminan dari ketidakadilan sistemik dan egoisme struktural pemerintah daerah yang gagal memprioritaskan pendidikan sebagai hak dasar dan kebutuhan esensial.

Ironisnya, dalam berbagai perayaan seremonial seperti Hari Anak Nasional, data ini sering dibacakan tanpa diikuti oleh tindakan konkret yang berpihak kepada anak-anak tersebut.

Penyebab putus sekolahnya ribuan anak di TTS sangat kompleks dan saling berkait. Keterbatasan ekonomi keluarga menjadi faktor dominan, membuat banyak orang tua tidak mampu membiayai kebutuhan sekolah seperti seragam, buku, dan transportasi. Buruknya akses transportasi dan jauhnya lokasi sekolah dari tempat tinggal anak-anak, terutama di wilayah pegunungan dan pedesaan, juga memperparah keadaan.

Lebih dalam lagi, budaya lokal yang menilai bahwa pendidikan formal tidak terlalu penting, adanya anggapan bahwa anak-anak lebih baik bekerja membantu keluarga, atau bahkan menikah di usia dini, membuat pendidikan menjadi sesuatu yang “tidak urgen” di mata sebagian besar masyarakat.

Masalah lain yang sering tak diperhatikan adalah ketiadaan dokumen administrasi seperti akta kelahiran, disabilitas, serta trauma akibat kekerasan yang dialami di sekolah. Semua ini menjadi simpul persoalan yang membelenggu ribuan anak untuk bisa mengakses hak dasar mereka.

Dari perspektif iman Kristen, situasi ini jauh lebih dari sekadar isu kebijakan atau persoalan teknis administrasi. Ini adalah soal moral, soal keadilan, dan soal panggilan iman. Dalam ajaran Kekristenan, setiap anak diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Imago Dei). Mazmur 139:13–16 dan Matius 18:5 menegaskan bahwa anak-anak adalah pribadi yang dikasihi Tuhan.

Dengan demikian, mengabaikan hak pendidikan mereka sama dengan merendahkan potensi kasih Allah yang ada dalam diri mereka. Ini bukan hanya keprihatinan sosial, tetapi sebuah dosa kolektif ketidakadilan yang ditimpakan kepada generasi yang seharusnya kita lindungi. Gereja, sebagai tubuh Kristus di dunia, tidak boleh tinggal diam. Iman yang sejati bukan hanya diucapkan, tetapi diwujudkan dalam tindakan nyata (Yakobus 2:14–17).

Ketika gereja dan lembaga keagamaan hanya menjadi tempat ibadah dan bukan agen transformatif yang menyalurkan kasih Allah secara konkret kepada anak-anak putus sekolah, maka gereja gagal menjadi “garam dan terang dunia” sebagaimana tertulis dalam Matius 5:13–14. Gereja seharusnya hadir secara nyata: membuka sekolah alternatif berbasis iman, memberikan beasiswa dari persembahan kasih, menyelenggarakan pelatihan keterampilan untuk orang tua agar anak tidak perlu berhenti sekolah demi membantu ekonomi keluarga.

Gereja juga bisa mengorganisasi bimbingan belajar, kelas kejar paket, hingga transportasi bersama bagi anak-anak dari wilayah terpencil. Semua itu adalah bentuk kasih yang aktif—faith in action.

Namun, tanggung jawab ini tidak boleh hanya dibebankan kepada gereja. Pemerintah, yang memiliki mandat konstitusional dan anggaran publik, harus tampil sebagai pelindung hak anak. Sayangnya, kenyataan di lapangan menunjukkan betapa lemahnya peran pemerintah dalam menyelesaikan persoalan anak tidak sekolah di TTS.

Kebijakan yang ada sering kali bersifat tambal sulam. Dana BOS belum dimaksimalkan, banyak anak tidak masuk dalam data resmi karena proses verifikasi yang lemah, dan biaya-biaya sekolah yang seharusnya dihapus ternyata masih muncul dalam bentuk iuran “ghaib”.

Program-program seperti tim pendataan anak putus sekolah pun dijalankan dengan kapasitas terbatas, tanpa koordinasi yang efektif dengan komunitas akar rumput.

Lebih menyedihkan lagi, intervensi pemerintah di bidang infrastruktur juga jauh dari memadai. Masih banyak sekolah dengan ruang kelas rusak, kekurangan guru, bahkan tidak memiliki akses air bersih dan sanitasi yang layak.

Distribusi guru sangat tidak merata, membuat banyak siswa harus pindah sekolah atau bahkan tidak bersekolah karena tak ada guru yang mengajar. Pemerintah seakan menggantungkan pendidikan pada yayasan swasta atau lembaga keagamaan, padahal seharusnya mereka menjadi motor utama dalam memastikan distribusi guru, fasilitas pendidikan, dan kualitas pembelajaran yang setara. Sistem zonasi pun sering kali tidak kontekstual, mengabaikan realitas geografis dan mobilitas masyarakat desa, sehingga menghalangi anak-anak masuk ke sekolah yang layak.

Jika dibiarkan, kondisi ini akan membentuk generasi tertinggal yang tidak hanya miskin dalam pengetahuan, tetapi juga dalam harapan. Anak-anak yang tak bersekolah hari ini adalah buruh kasar esok hari, korban pernikahan dini, atau bahkan pelaku kriminal di masa depan. Negara yang gagal mendidik anak-anaknya adalah negara yang menggali lubang kemundurannya sendiri.

Gereja yang membiarkan anak-anak di sekelilingnya tersingkir dari pendidikan adalah gereja yang kehilangan roh Injil itu sendiri.

Kolaborasi antara gereja dan pemerintah bukan sekadar alternatif, tetapi satu-satunya jalan strategis yang bisa menjawab kebuntuan ini. Dalam skema ideal, jemaat bisa dilibatkan sebagai bagian dari sistem pendataan anak tidak sekolah di tiap RT atau desa.

Pemerintah bisa menyediakan data elektronik yang terbuka dan bisa diakses untuk sinkronisasi. Gereja mendistribusikan bantuan seragam, buku, transportasi, bahkan membuka sekolah informal atau kejar paket. Pemerintah mengatur regulasi agar PKBM diakui nilai ijazahnya dan setara dengan sekolah formal. Dalam hal infrastruktur, gereja bisa membangun ruang kelas dan sarana sanitasi lewat dana persembahan atau CSR mitra, sementara pemerintah mengirim guru PNS dan memberikan pelatihan.

Lebih jauh lagi, gereja dapat menjalankan konseling keluarga, trauma healing, dan program penguatan nilai iman untuk membangun kembali motivasi anak-anak dalam belajar. Pemerintah, di sisi lain, wajib menjalankan program kesejahteraan keluarga, menghapus pungutan liar di sekolah negeri, serta memperkuat kampanye antipernikahan dini. Semua langkah ini harus bersifat lintas sektoral dan berkelanjutan.

Kita juga harus berani mengkritisi akar permasalahan secara lebih tajam. Data yang tidak valid dan tidak terverifikasi menjadi hambatan utama dalam pengambilan keputusan. Dari total 145 ribu anak yang tidak sekolah, hanya sekitar 8 ribu yang benar-benar terverifikasi. Artinya, lebih dari 130 ribu anak “hilang” dalam bayangan statistik. Birokrasi yang lemah, anggaran yang tidak tepat sasaran, serta ketergantungan pada program parsial seperti tim khusus atau gerakan sesaat, menunjukkan bahwa pemerintah belum melihat isu ini sebagai masalah serius.

Gereja sendiri belum difungsikan secara maksimal oleh pemerintah sebagai mitra strategis. Padahal, gereja memiliki jaringan komunitas akar rumput yang sangat kuat, menjangkau hingga pelosok yang tak tersentuh birokrasi. Pelatihan pemuka agama dan tokoh lokal tentang kebijakan pendidikan, advokasi, dan sistem pendukung bisa menjadi langkah awal yang transformatif. Di sisi lain, nilai-nilai budaya lokal juga harus dikaji dan dilibatkan dalam solusi. Praktik seperti pernikahan dini, kerja anak, dan persepsi rendah terhadap pendidikan harus dilawan dengan pendekatan yang kontekstual, bukan dengan paksaan top-down.

Apa yang dibutuhkan hari ini adalah sistem verifikasi berbasis komunitas yang melibatkan tokoh agama, RT, kader desa, dan pemerintah setempat untuk memetakan secara akurat anak-anak yang tidak sekolah. Skema bantuan pendidikan juga harus disusun dalam bentuk gerakan terpadu seperti Gerakan Anak Kosong Sekolah (GERAKIN) yang melibatkan gereja, pemerintah, LSM, dan masyarakat sipil. Di dalamnya, ada subsidi transportasi, bantuan LKS, pengadaan internet, dan sarana belajar di daerah terpencil.

Program kejar paket juga perlu diperluas dengan pendekatan gerejawi, misalnya dengan sistem asrama dan pelibatan guru-guru Kristen. Selain itu, sistem zonasi dan distribusi guru harus direformasi berdasarkan kenyataan geografis dan pola migrasi. Zonasi tidak boleh menjadi penghalang akses, dan distribusi guru harus disertai insentif untuk wilayah 3T. Pemerintah juga harus berani melakukan audit terbuka atas dana BOS dan memberikan sanksi kepada sekolah yang menyimpang.

Di atas semuanya, gereja harus menggelorakan kampanye moral besar-besaran yang menekankan bahwa pendidikan adalah perwujudan kasih Tuhan, dan setiap anak adalah berkat yang patut diperjuangkan. Matius 28:19 memerintahkan kita untuk menjadikan semua bangsa murid Kristus, dan itu tak bisa terjadi jika anak-anak bahkan tidak mengenal huruf dan angka. Pendidikan bukan sekadar alat mencapai masa depan, tetapi juga media pewartaan Injil. Dengan membiarkan anak-anak tetap dalam ketidaktahuan, kita sedang menutup pintu bagi Injil itu sendiri.

Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk menjadi agen keadilan yang aktif. Mengutuk sistem yang bobrok tanpa menawarkan solusi hanya akan memperpanjang derita. Sebaliknya, kolaborasi antara iman dan tindakan, antara kasih dan struktur, antara gereja dan negara, adalah satu-satunya jalan menuju pemulihan. Anak-anak TTS bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga panggilan moral dan spiritual setiap orang Kristen. Mengabaikan ribuan anak yang putus sekolah bukan hanya kegagalan administratif, tetapi kematian harapan sebuah generasi. Mari bersuaralah. Jangan biarkan mereka menjadi generasi yang tertinggal di tanah yang kita sebut “Tanah Tuhan”.

Fenomena ribuan anak putus sekolah di Timor Tengah Selatan (TTS) merupakan tragedi kemanusiaan sekaligus cermin dari ketidakpekaan struktural pemerintah terhadap realitas sosial yang terjadi di akar rumput. Di balik angka statistik yang mencolok, tersembunyi wajah-wajah generasi muda yang kehilangan harapan, peluang, dan masa depan. Kompleksitas penyebab—mulai dari kemiskinan, akses yang sulit, budaya lokal, hingga lemahnya birokrasi—semuanya menunjukkan bahwa krisis ini tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan parsial atau seremonial belaka.

Dari perspektif iman Kristen, masalah ini merupakan pengingkaran terhadap nilai-nilai kasih, keadilan, dan tanggung jawab moral atas citra Allah (Imago Dei) yang melekat pada setiap anak. Gereja, yang selama ini memiliki jaringan komunitas kuat dan pengaruh spiritual dalam masyarakat, belum diberdayakan secara maksimal sebagai mitra strategis dalam menyelamatkan generasi ini.

Sementara itu, pemerintah tampak lamban dan minim terobosan dalam mengoptimalkan kebijakan, anggaran, serta distribusi tenaga pendidik secara adil dan menyeluruh.

Dengan langkah konkret dan komitmen bersama, generasi yang tertinggal bisa diselamatkan. Tidak ada kemajuan tanpa pendidikan, dan tidak ada kasih tanpa tindakan. Gereja dan pemerintah harus berjalan beriringan, tidak lagi berdiri sendiri-sendiri.

Di tangan anak-anak inilah masa depan TTS dipertaruhkan dan sudah waktunya kita bertindak, bukan sekadar berbicara.

Wahai engkau yang diberi amanah di negeri bukit dan batu karang, dengarlah bisikan sunyi dari lembah-lembah yang terdiam dan ribuan jeritan anak-anak yang belum sempat mengenal aksara, yang matanya menatap dunia tanpa jendela ilmu. Tidakkah hatimu tergugah, saat langkah kecil mereka terhenti di ujung jalan tanpa sekolah?

Gereja, engkau pelita di malam kelam, jangan hanya berkhotbah tentang kasih dari mimbar megah, turunlah ke tanah berdebu, peluklah yang tertinggal, ajarkan cinta dalam bentuk nyata. Pemerintah, kuasa bukan untuk berdiam dalam meja kebijakan, tapi untuk berjalan di samping rakyat yang menanti. Satukan langkah dengan jemaat dan warga, bukan demi pujian dunia, tetapi demi generasi yang nyaris hilang dari peta masa depan.

Mari kita anyam kembali harapan dengan benang iman, kasih, dan keberanian moral, agar tak ada lagi anak TTS yang tumbuh dalam kebisuan, yang hidup tanpa harapan, yang tua dalam kegelapan. Karena mereka bukan beban yang harus dipikul, mereka adalah cahaya yang harus dijaga. Karena mereka bukan angka dalam laporan, tetapi wajah masa depan yang menanti disentuh tangan kasih kita hari ini sebelum semuanya benar-benar terlambat.

Penulis: Dr. Margarita D. I. Ottu, M.Pd.K., M.Pd.
Dosen STAK Arastamar SoE

Most Popular