Soe, TTS — Ketegangan memuncak di Desa Kolbano, Kecamatan Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), pada Jumat (5/12/2025) ketika puluhan warga mendatangi Kepala Desa Kolbano, Dabigus D. Boimau, S.P., menuntut penyelesaian tegas terhadap kasus Sekretaris Desa (Sekdes) Ratni yang diketahui hamil di luar nikah. Warga menilai perilaku tersebut mencoreng nama baik desa dan meminta Kades segera melakukan tindakan tegas.
Desakan itu disampaikan langsung oleh perwakilan masyarakat: Yandrits Manu, Timotius Sabunu, Daniel Lakapu, dan Yes Boimau. Mereka menegaskan bahwa persoalan ini sudah terlalu lama dibiarkan tanpa keputusan final, padahal warga telah berulang kali meminta pemberhentian Sekdes.
Menurut perwakilan warga, Kepala Desa sebenarnya sudah memberikan sanksi, termasuk surat pemberhentian. Namun, Bupati TTS melalui surat bernomor DPMD.14.02.01/689/XI/2025 tertanggal 11 November 2025 malah memberikan teguran tertulis kepada Kades. Alasannya: surat pemberhentian Sekdes dianggap tidak sesuai mekanisme karena tidak disertai rekomendasi Camat.
Dalam surat tersebut ditegaskan, jika dalam 14 hari Kades tidak membatalkan surat pemberhentian, maka akan dikenai sanksi pemberhentian sementara yang dapat berlanjut menjadi pemberhentian permanen. Teguran inilah yang memicu kemarahan warga, karena pemberhentian Sekdes sebelumnya merupakan desakan masyarakat.
Warga pun mengancam akan menyegel kantor desa jika persoalan tidak segera diselesaikan.
Menanggapi polemik ini, Kades Kolbano Dabigus D. Boimau, S.P., memberikan klarifikasi pada Minggu (7/12/2025). Ia mengungkapkan bahwa persoalan amoral di desa bukan hanya melibatkan Sekdes Ratni, tetapi juga seorang tenaga kesehatan desa bernama Widia, yang keduanya hamil di luar nikah pada bulan yang sama.
“Kami sudah panggil dua-duanya bersama keluarga dan BPD. Disepakati agar mereka menikah dengan pasangan masing-masing,” jelas Kades.
Namun, kesepakatan itu buntu. Sekdes tidak menyanggupi pernikahan karena mengaku orang yang menghamilinya telah meninggal dunia. Sementara Nakes Widia, meski awalnya berjanji menikah, namun kemudian menghilang dan tidak menunaikan kesepakatan.
“Keduanya kami beri surat peringatan pertama dan kedua, lalu diberhentikan sementara. Tapi tetap tidak ada itikad baik,” lanjutnya.
Nakes Widia kemudian lulus PPPK di salah satu puskesmas dan tidak lagi berdinas di Kolbano, sehingga persoalan yang tersisa tinggal Sekdes.
Kades mengaku sudah mengusulkan pemberhentian Sekdes sejak Januari 2025 kepada Camat Kolbano. Namun selama lebih dari 14 hari tidak ada jawaban.
“Desakan masyarakat terus berdatangan. Karena rekomendasi camat tidak kunjung keluar, maka saya keluarkan surat pemberhentian,” jelasnya.
Ketika dilakukan pemeriksaan pada Agustus 2025, pemberhentian itu dinilai cacat prosedur karena tidak disertai rekomendasi camat, sehingga Bupati mengeluarkan teguran.
Dabigus Boimau menegaskan bahwa SK pemberhentian Sekdes telah melalui banyak tahapan. Karena itu, ia meminta kejelasan dari Bupati dan Camat mengenai langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mencabut SK tersebut.
“Saya minta penjelasan dari Camat, kenapa rekomendasi pemberhentian tidak diberikan. Saya juga minta petunjuk dari Bupati tentang prosedur pencabutan SK,” tegasnya.
Ia mengimbau masyarakat Desa Kolbano untuk tetap tenang dan menjaga situasi tetap kondusif sambil menunggu penyelesaian resmi dari pemerintah.
Polemik ini diperkirakan akan berlanjut, mengingat tekanan warga yang semakin besar serta adanya tarik ulur kewenangan antara desa, camat, dan pemerintah kabupaten.(Sys/ST)

